Monday 25 July 2011

When I disagree with you does not mean I hate you...

Seringsekali kita mempunyai perasaan "terkecewakan" ketika ide atau pendapat kita disanggah oleh orang lain. Apalagi ketika opini kita ditanggapi bertentangan oleh teman atau sahabat kita. Adapun sebaliknya, seringkali  kita berseberangan opini dengan teman kita dengan berbagai reaksi yang diterima. Ada yang tetap ngotot dengan pendapatnya, ada yang mencoba meralatnya atau hanya mengatakan "iya sih..." tapi sebenarnya tidak seratus persen setuju.

Semakin berumur, semakin kuat karakter kita terbentuk dan semakin sulit untuk dirubah (kecuali dengan keinginan dari dalam diri sendiri). There are some people who just can not simply handle the difference of opinions. Ketika ide atau opini di sanggah dan "dimentahkan" orang lain dalam suatu hard conversation, mereka bisa dengan cepat menganggap bahwa sanggahan atau ide yang berseberangan adalah suatu "serangan" atau bentuk sentimen pribadi.  Dan perasaan "insecure" pun akhirnya muncul dan membuat mereka menjadi bersikap defensive yang mana akhirnya menutup hati mereka untuk bersikap lembut dan berpikiran positive. 

Mungkin teori saya tidak sepenuhnya benar, tapi itulah yang bisa saya gambarkan dalam sketsa sederhana yang pernah saya alami. Dan saya harus berbicara jujur di sini bahwa hal inipun pernah terjadi dalam kehidupan pribadi saya. Ketika saya sangat tidak menyukai suatu hal atau kecewa akan kondisi tertentu, tentunya saya berharap bahwa orang yang saya ajak bicara akan mengerti dan berpihak pada saya.  Tapi ketika respon yang saya terima tidak seperti yang saya harapkan karena opini mereka berseberangan dengan saya maka sikap sayapun bisa dengan cepat berubah terhadap mereka. Saya merasa mereka tidak berpihak terhadap saya, tidak mengerti saya dan mencoba membuat saya down dan yang lebih parahnya, saya merasa bahwa mereka sebenarnya membenci saya. Dan akhirnya perasaan-perasaan seperti itu membuat saya menutup hati saya kepada mereka dan menciptakan sentimen pribadi yang akhirnya membuat hubungan kami dingin seperti es.

Atau ketika saya harus berseberangan pendapat dengan suami dan mencoba bertahan dengan pendapat masing-masing (padahal suami saya selalu berbicara dengan tone suara yang sangat halus dan sopan), saya merasa begitu down dan merasa bahwa dia tidak cukup mengerti saya & menganggap bahwa saya tidak cukup capable in handling something, padahal tujuan dan jalan fikiran dia tidak seperti itu. 

Jika saja saya bisa cukup dewasa menerima suatu perbedaan pendapat dengan fikiran yang lebih positif, pastinya hal di atas tidak mungkin terjadi. Bisa saja teman saya ingin memberikan suatu gambaran dari sisi yang lain yang tidak saya lihat karena tertutup awan tebal emosi hati. Or if the difference happened just without of any reasons, it's still fine actually... it is something normal happened just because we are a stand alone individual. 

Sayapun mengalami proses lumayan panjang dalam belajar menerima perbedaan pendapat. Dan belajar menerima bahwa sanggahan atau pandangan yang berseberangan bukanlah suatu bentuk dari tanda ketidaksukaan pada diri kita. Saya mencoba untuk menanamkan akar kuat dibagian belakang kepala saya bahwa ketika seorang tidak menyukai ide saya atau melontarkan pendapat yang berseberangan, itu bukan karena mereka membenci kita secara pribadi tapi itu semua tak lebih karena mereka mempunyai kacamata yang berbeda dengan kita dan itu tidak haram terjadi:)

Wednesday 13 July 2011

Don´t jugde women (dibaca : yang punya anak & suami) who wants to go night out & spend the night only with girl friends!

Ketika awal pindah ke Swiss saya tidak pernah berfikir kalau saya bisa keluar rumah malam-malam ngumpul dengan teman sekedar makan malam bareng dan lanjut ke bar sekedar ngobrol atau mendengarkan musik dan sedikit dancing. Kenapa saya mempunyai fikiran seperti itu?... ya simple aja, karena di dalam otak idealisme saya, seorang istri itu ya sudah tidak berhak keluar malam-malam sampai pagi tanpa suami lagi. Apalagi dengan keadaan saya yang menikah untuk kedua kalinya membuat saya berfikir untuk mengaplikasikan "kodrat" saya sebagai istri konvesional yang kalau ingin keluar malam hanya dengan suami saja. 

Ternyata pemikiran saya tidak sepenuhnya benar. Hidup di sini justru tidak sekaku yang saya pikirkan sebelumnya. Kami, para ibu-ibu masih bisa pergi keluar rumah malam dengan teman-teman bahkan menginap sampai pagi tanpa takut mempunyai pandangan negatif dari tetangga atau suami. 

Awalnya saya berpikir jika respon yang akan saya terima dari Pascal ketika saya bilang ingin keluar malam atau menginap hanya dengan teman-teman wanita saja adalah penolakan. Tapi ternyata salah lho!... Dengan santai dia bilang "it´s okay yang, you can go. I can understand that you also need to go out only with your girl friends". Dan ijin seperti ini berlaku gak cuma sebelum Malika lahir loh, setelah ada Malika dan ketika dia sudah bisa minum susu formula, saya juga masih diijinkan keluar malam hanya dengan teman-teman wanita saja bahkan menginap tanpa membawa Malika. It´s cool, isn´t?...

Contohnya kalau kita perginya sampai malam banget dan jarak tempat kita pergi jauh dari rumah, jadi lebih baik saya nginep di rumah teman dan besok paginya baru pulang. Atau, kalau saya harus bantu teman masak karena besoknya ada acara pengajian bersama yang tenaga saya dibutuhkan, so untuk Pascal it´s not a big drama. Beside that, occasion seperti ini sangat jarang sekali. 

Once I tried to go to club with friends and I found my self that I felt so misplace. I guess going to club is not my thing anymore. First : I don´t follow the music anymore :), second : when I danced I felt stiff like an old granny, third : when I looked at my surrounding...edannnn, yang paling tuir kayanya gue doang, yang lainnya masih kaya Selena Gomez semua, bikin kepala gue merunduk dalam-dalam seperti kura-kura masuk ke dalam tempurungnya, forth : I could not talk to my friends as it was too loud, fifth : I missed my husband and kids :(. So I guess, going to bar or club is not my thing anymore unless I really really have a super strong reason why I have to go there again. 


Kalau ditanya apa perasaan saya ketika keluar rumah jalan-jalan malam atau menginap di rumah teman tanpa keluarga setelah menikah sekarang ini, jawabannya adalah : "menyenangkan, karena bisa mendapatkan fresh air dan fun karena bisa ngobrol dan bercanda hanya dengan bahasa Indonesia lagi. But still, there´s nothing a better place than home".

Mungkin keadaannya akan berbeda kalau ini terjadi di Indonesia. Tidak semua orang bisa "mengerti" kalau ibu-ibu yang sudah menikah dan punya anak juga masih berhak keluar malam exclusively hanya dengan teman-teman perempuannya. Masih bisa jalan-jalan ke luar kota dan menginap dengan teman-temannya saja dan meminta suami untuk menjaga anak di rumah. Dan keadaan ini bisa dimengerti karena lingkungan sosial sekitar kita yang "berpendapat" jika keluar rumah malam-malam bisa menimbulkan banyak pandangan negatif, apalagi kalau sudah ibu-ibu, menikah dan punya anak...apa kata dunia???... 

Pandangan ideal dari seorang ibu dan istri adalah, menghabiskan waktu hanya untuk keluarga, kalaupun pergi keluar hanya untuk belanja, pengajian, ke rumah saudara, antar anak sekolah, arisan dan semuanya harus dilakukan in the day time. And no more going to club or just listening live music only with girl friends karena takut bisa menimbulkan fitnah. JHmmm...jadi untuk saya pribadi, saya tidak punya hak untuk "meluruskan" keadaan ini. Lain gunung, lain belalang, dimana bumi diinjak di situ langit dijunjung. Yaaa...itu sih gimana orang-orang melihatnya saja.  

Dan menurut pendapat saya, jika skema keluar malam and staying over somew here with girl friends only dilakukan dengan jujur & penuh rasa tanggung jawab, rasanya tidak mungkin akan ada reaksi negatif yang bisa timbul Kecuali kalau keluar rumahnya memang bertujuan negatif, seperti flirting around when you are away from home atau pergi tanpa sepengatahuan suami yaa..pastinya memang akan menimbulkan reaksi negatif juga.

Baru-baru ini saya pergi ke luar kota selama 1 hari 1 malam dengan ibu-ibu Dharma Wanita Indonesia di Swiss. Kami pergi menginap di rumah mertua dari Vivian Hornstein di Bourrignon, Jura. Jumlah kami sekitar 17 orang dan semuanya dikoordinasikan oleh Ibu Nurul sebagai ketua Dharma Wanita di Swiss. Kami tidak hanya sekedar pindah tempat tidur dari rumah ke sana, kamipun punya beberapa kegiatan selama di Bourrignon. Kami pergi hiking ke dalam hutan dan berjalan sampai mendekati perbatasan Swiss - Perancis, mengunjungi kota Delemont dan menikmati suasana kota kecilnya dan yang terpenting adalah kami bisa menikmati kebersamaan kami tanpa anak dan suami. And it´s not bad at all. Sometimes we need a bit space for our self and to free our mind from all household things. We had lots of fun together, we enjoyed our presence one to another and we get to know each other better. And I can make under line here, there was no stupid things has been made.




Dengan "menjauh" dari rumah time to time justru membuat perasaan rindu kepada suami dan anak semakin bertambah. Memang hal menyenangkan bisa kumpul-kumpul dengan teman-teman tanpa anak dan suami, tanpa kita harus memikirkan suami bete gak ya kalau kita ngobrol sama teman lama atau anak kita rewel karena gak betah di suatu tempat. Karena kami butuh pergatian suasana, kami butuh bertemu dengan teman tanpa harus melihat jam, kami butuh waktu di saat hanya dengan teman wanita kami saja, kadang-kadang kami butuh sendiri.

Tapi tetap saja, kebahagian sejati adalah berada di rumah dan keluarga. Apalagi, ketika melihat mereka menjemput  atau menyambut saya di depan pintu rumah dengan senyum lebar dan pelukan hangat sambil mengatakan how much they missed me when I was away. Hal-hal seperti itu membuat perasaan dihati saya semakin bertambah kuat, jika surga saya di dunia adalah rumah & keluarga saya....